Loading...

Tarombo (Simarmata) Source: http://www.jannersimarmata.com/index.php?mata=_sejrh3.simarmata.php Tersebutlah kisah nenek moyang suku Batak adalah bernama Si Raja Batak yang menurut legenda lahir dari keturunan dewata. Ibu anak itu, bernama Si Boru Deak Parujar yang diperintahkan Dewa tertinggi, Debata Mulajadi Nabolon untuk menciptakan bumi. Setelah menciptakannya ia pergi ke Sianjur Mula-mula, di gunung Pusuk Buhit di jajaran pegunungan Bukit Barisan di tepi Danau Toba nan indah dan berdiam di sana. Orang Batak memandangnya sebagai tempat asal mula seluruh bangsa Batak. Si Raja Batak mempunyai dua orang putera yaitu: 1. Guru Tatea Bulan 2. Raja Isumbaon Guru Tatea Bulan dengan istrinya bernama Si Boru Baso Burning mempunyai 5 putera dan 4 puteri; Putera: Si Raja Biak-Biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala Raja, Malau Raja. Puteri: Si Boru Pareme, Si Boru Anting Sabungan, Si Boru Biding Laut, Nan Tinjo. Raja Isumbaon yang artinya raja disembah mempunyai tiga orang putera yaitu: 1. Tuan Sorimangaraja 2. Raja Asi-Asi 3. Sangkar Somarlindang Semua keturunan Si Raja Batak dapat dibagi atas dua golongan besar yaitu turunan Guru Tatea Bulan atau golongan Bulan dan turunan Raja Isumbaon atau golongan Mata hari yang dilambangkan dalam bendera Batak (bendara Sisingamangaraja) dengan gambar Bulan dan Matahari. Tuan Sorimangaraja adalah satu-satunya putera Raja Isombaon yang tinggal di Pusuk Buhit sedangkan Raja Asi-Asi dan Sangkar Somalindang pergi meninggalkan bona pasogit sebelum kawin sehingga tidak diketahui keturunannya. Tuan Sorimangaraja mempunyai tiga orang istri dan dari masing-masing istri memperoleh satu anak putera yaitu: 1. Tuan Sorba Dijulu atau Ompu Nabolon gelar Naiambaton hasil perkawinan dengan Si Boru Anting Malela (Sabungan) puteri kedua dari Guru Tatea Bulan, 2. Tuan Sorba Dijae atau Raja Mangarerak gelar Nai Rasaon hasil perkawinan dengan Si Boru Biding Laut puteri ketiga dari Guru Tatea Bulan. 3. Tuan Sorba Dibanua gelar Nai Suanon hasil perkawinan dengan Si Boru Sanggul Haomasan 3.1.2 Si Raja Nai Ambaton Adalah putera sulung Raja Isumbaon yang sebenarnya bernama Ompu Tuan Nabolon, namun sampai kini keturuannnya dinamai pomparan Nai Ambaton menurut ibu leluhurnya dan walaupun keturunan Naiambaton sudah lebih dari 50 marga dan lebih kurang 20 generasi, sampai sekarang masih tetap mempertahankan "ruhut bombong" yaitu peraturan yang tidak memperbolehkan perkawinan sesama marga yang termasuk seluruh marga Nai Ambaton. Nai Ambaton mempunyai 5 putera tetapi ada pendapat yang mengatakan tiga orang putera, ada yang mengatakan dua dan yang lain mengatakan empat orang putera. Meskipun ada perbedaan pendapat tetapi tentang jumlah dan marga-marga yang termasuk keturunan Raja Nai Ambaton hampir semua sepakat. Dibawah ini adalah 5 putera Nai Ambaton yaitu: 1. Simbolon Tua 2. Saragi Tua 3. Tamba Tua 4. Munte Tua 5. Nahampun Tua dari kelima marga induk lahirlah berpuluh-puluh marga keturunan Nai Ambaton seperti disebutkan di atas. Dari putera kedua Nai Ambaton yaitu Saragi Tua mempunyai 2 orang putera Yaitu: 1. Ompu Tuan Binur 2. Saragi Tua Putera sulung Saragi Tua yaitu Ompu Tuan Binur kemudian kawin dengan Bunga Ria Boru Manurung puteri Raja Manurung yang tinggal di negeri Sihotang. Ompu Tuan Binur kemudian mendirikan kampung yang bernama Huta Namora di Rianiate dan menjadi raja dari daerah sekitarnya. Ompu Tuan Binur mempunyai 4 orang putera, yaitu: 1. Lango Raja 2. Saing Raja 3. Mata Raja 4. Deak Raja sedangkan 2 puterinya kawin dengan Sihotang Marsoit dan Limbong Naopatpulu. 3.1.3 Ompu Simataraja Putera ketiga dari Ompu Tuan Binur yaitu Simataraja kemudian kawin dengan "pariban" nya puteri Raja Saudakkal dari Limbong Mulana yang bernama Lahatma Boru Limbong Sihole dimana selanjutnya mereka tinggal di tanah yang bernama Simarmata sebagai Bona pasogit dari seluruh keturunan Ompu Simataraja marga Simarmata. Dari perkawinan tersebut, Simataraja mempunyai tiga orang putera yaitu: 1. Halihi Raja kawin dengan Naolo Boru Sihaloho dari Janji Maria Parbaba. 2. Dosi Raja kawin dengan Bungahom Boru Malau dari Rianiate. 3. Datuktuk Raja kawin dengan Tiarma Boru Sinaga Uruk dari Batu Upar, Urat. kepada ketiga puteranya Simataraja membagikan tanah sebagai tempat kediaman masing-masing beserta keturunannya. Halihi Raja memperoleh Huta Uruk, Dosi Raja memperoleh Huta Toguan, dan yang bungsu yaitu Datuktuk Raja memperoleh Huta Balian. Setelah Ompu Simataraja wafat maka ketiga puteranya tetap menjadi raja di negeri Simataraja dan damai. 3.1.4 Raja Bius Simarmata Si Tolu Tali Demikianlah secara singkat riwayat Ompunta Simataraja sampai kepada leluhur suku Batak yaitu Si Raja Batak. Membaca tarombo di atas tentu timbul pertanyaan, kalau bukan cerita dongeng kapankah terjadinya - hidupnya tokoh-tokoh tersebut. Apakah mereka tokoh antah-berantah hasil rekaan para orang tua saja? Menurut Adniel Lumbantobing dalam bukunya Sejarah Sisingamangaraja yang dikutip Batara Sangti dalam bukunya Sejarah Batak, diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1305. Dengan demikian kalau ditarik tarombo sampai kepada Ompu Simataraja yang merupakan generasi ketujuh, terentang jarak sekitar 210 tahun (dengan asumsi atau generasi 30 tahun) berarti Ompu Simataraja hidup sekitar tahun 1515. Sebagai perbandingan Tuan Sisingamangaraja I bernama Raja Manghuntal lahir pada tahun 1515 (A. Lumbantobing). Kalau dilanjutkan kepada putera Ompu Simataraja yaitu Halihi Raja, Dosi Raja dan Datuktuk Raja dapat dikatakan ketiga putera Ompu Simataraja hidup sekitar tahun 1545. Dari data yang ada pada penulis yaitu tarombo Bp. Drs. RU. Simarmata (Halihi Raja) dan tarombo Bp. JF. Simarmata (Datuktuk Raja) yang merupakan generasi ke tigabelas dan keempat belas maka perkiraan tahun tersebut di atas tidak jauh berbeda. Dari ketiga putera Ompu Simataraja inilah yang menurunkan marga Simarmata menyebar ke seluruh pelosok, terutama ke daerah pantai Sumatera di tepian pantai Danau Toba baik ke arah timur, tenggara maupun ke barat diantaranya ke Simalungun, Karo, Dairi, Humbang, Sibolga, Barus dan selanjutnya ke P. Siantar, Binjai dan kota-kota lainnya di Sumatera, Jakarta, ke seluruh Indonesia bahkan ke seluruh Dunia. 3.1.5 Simalungun Kalau diperhatikan bahwa raja-raja penguasa tanah Simalungun yang hanya terdiri dari empat marga yaitu Saragih, Damanik, Purba dan Sinaga dapat disimpulkan bahwa keturunan Raja Nai Ambaton dari puteranya Saragi Tua sudah cukup lama pergi ke tanah Simalungun sehingga dapat menjadi raja. Keturunan Simataraja marga Simarmata yang datang kemudian dapat diterima di Simalungun karena mengikuti marga dongan tubunya Saragi yang di Simalungun menjadi Saragih. Baru belakangan setelah kekuasaan raja-raja berkurang marga Simarmata yang tadinya disebut marga Saragih kembali memakai marga Simarmata walaupun karena sudah cukup lama memakai marga Saragih banyak diantaranya yang tidak mengingat lagi keturunan Ompu yang manakah diantara ketiga putera Ompu Simataraja yang bersangkutan. Generasi selanjutnya yang kemudian menempati pesisir pantai di hadapan Pulau Samosir. Mereka mendiami daerah Tigaras, Haranggaol, Silalahi, dan desa-desa di sepanjang pantai tersebut. Menurut cerita perpindahan ke tanah Simalungun ini sudah berlangsung antara tujuh sampai sepuluh generasi. 3.1.6 Karo Menurut Mulgap Ginting yang dimuat pada harian Sinar Indonesia Baru 31 Oktober 1971 Medan, Simarmata yang di tanah Karo menjadi Garamata (merah mata) mengembara ke tanah karo melalui Dairi. Kampung yang mula-mula ditempati di tanah Karo ialah kampung Lau Lingga (sekarang Kecamatan Juhar). Di sini Garamata membuat namanya Matangken dan marganya Ginting. Di kampung inilah Matangken kawin dan mendapat seorang anak yang diberi nama Tindang (berdiri). Sesudah dewasa Tindang kawin di kampung itu juga. Istrinya adalah anak Raja Umang. Sebelum mempunyai anak Tindang dan istrinya meninggalkan kampung Lau Lingga dan pergi ke arah Timur lalu bertempat tinggal di sebuah kampung bernama Gura Lesma dekat kota Kabanjahe (sekarang Kecamatan Munte). Kehidupan mereka bertani dan di tempat ini mereka mempunyai anak yaitu 9 laki-laki dan satu perempuan yang masing-masing bernama Ajar Tambun, Suka, Babo, Sugihen, Gurupatih, Jadibata, Beras, Bukit, Garamata dan yang perempuan bernama Bembem. 3.1.7 Dairi, Humbang dan Barus Perpindahan keturunan Simataraja ke daerah ini adalah mengikuti dongan tubunya Simbolon, meskipun tidak sebanyak marga Simbolon tetapi di beberapa daerah di sekitar Humbang terdapat marga Simarmata yang sudah tinggal beberapa generasi di situ (Batara Sangti dalam Sejarah Batak). 3.1.8 Daerah lain-lain Demikianlah generasi-generasi awal perpindahan Keturunan Simataraja dari Bona pasogit, selanjutnya menyebar ke daerah lain sampai ke Jakarta. Khusus ke Jakarta dan cerita-cerita para sesepuh, keturunan marga Simarmata menetap di Jakarta baru pada awal tahun lima puluhan seperti Bapak A. Simarmata, Bapak Ismail Simarmata yang sudah meninggal dan lain-lain. Baik sekali kalau dapat diperoleh data yang akurat tentang perpindahan marga Simarmata ke Jakarta ini. 3.2 Legenda Seperti apakah wajah dan postur tubuh Ompu Simataraja? Alangkah bahagianya bila kita sempat memiliki potret beliau. Wajahnya tentulah wajah khas Batak dengan rahang persegi, kulitnya sawo matang mendekati coklat seperti penduduk yang tinggal di tepi pantai danau Toba. Tingginya sekitar 170 cm, mahir berenang, memiliki sorot mata keras menggambarkan sikap yang tidak pernah ragu dalam mengambil keputusan. Beliau tentulah mempunyai karisma sebab mampu meninggalkan legenda melalui perbuatannya. Legenda? Kalau Rudy Hartono menang dalam All England sampai 8 kali dan 7 kali berturut-turut yang tidak pernah terjadi dalam sejarah perbulutangkisan dunia, itu adalah legenda. Kalau Mohammad Ali mampu merebut gelar juara dunia tinju sebanyak 3 kali setelah kehilangan gelar tiga kali, itu adalah legenda. Jadi tidak tepat mengartikan legenda sebagai sebuah cerita yang kebenarannya sangat diragukan, sebuah cerita yang mendekati dongeng. Kalau kita menceritakan legenda Ompu Simataraja adalah dengan pengertian bahwa kisah ini benar-benar pernah terjadi dan karena kemashurannya diceritakan dari masa ke masa, turun-temurun sampai ke anak cucu, dengan harapan dapat dipetik ajaran-ajaran dari padanya. Inilah diantaranya: 3.2.1 Simataraja dengan Lango Raja, Saing Raja dan Deak Raja Inilah kisah tentang ketulusan dan kasih Ompu Simataraja. Ketika ayahanda mereka Ompu Tuan Binur mangkat, ibunya Ompu Bungaria Born Manurung sedang mengandung (Marnadeak Siubeon), kedua abang Simataraja bersikeras agar warisan peninggalan Ompu Tuan Binur dapat dibagi secepatnya. Tetapi Simataraja menolak dengan pertimbangan bahwa ibunda mereka masih mengandung calon adik mereka. Bagaimana warisan dapat dibagi tiga sebab kalau ternyata bayi yang akan lahir itu adalah laki-laki sesuai hukum Batak bukankah haknya juga sama dengan mereka? Kalau langsung dibagi apalagi yang akan diberikan kepada sang adik. Pertimbangan Simataraja tidak diterima, Lango Raja dan Saing Raja tetap bersikeras dengan putusan mereka masing-masing. Dengan sedih dan terpaksa Simataraja menyetujui keputusan kedua abangnya dan berjanji bila bayi yang dikandung ibunya adalah laki-laki bagian warisan miliknya akan dibagi untuk adiknya. Demikianlah terjadi sebelum ibu mereka melahirkan, Saing Raja, Lango Raja melaksanakan keputusan mereka. Warisan Peninggalan Ompu Tuan Binur dibagi tiga. Setelah "gok di bulanna", ibunda mereka Ompu Bungaria boru Manurung melahirkan seorang putera yang diberi nama Deak Raja dan sesuai janjinya Simataraja memberikan warisan miliknya untuk adik bungsu yang dikasihinya Deak Raja yang kelak menurunkan marga Nadeak. Melalui kisah ini kita dapat belajar tentang rasa hormat kepada yang lebih tua. Tentang kasih yang tanpa pamrih, tentang orang yang tidak "pajolo gogo papudi”. Dengan keperkasaannya Ompu Simataraja dapat saja menentang keputusan abang-abangnya dan "ngotot" untuk menunggu kelahiran adiknya suatu alasan yang sebenarnya tepat dan masuk diakal. Tapi beliau adalah orang yang pantun di uhum yaitu hormat kepada yang lebih tua, dan punya prinsip mengalah demi kebaikan seperti pepatah orang tua yang berbunyi: Tigor pe batang jior Tigoran do batang ni sangge Tikkos pe hata tigor Tikkos an do hata dame Alangkah baiknya bila kita ingat prinsip itu. Begitu banyak terjadi perselisihan karena masing-masing merasa "manindakhon hatigoran"nya sendiri. Pokoknya pandangan sayalah yang paling benar, pendirian sayalah yang paling baik lalu ngotot, lupa akan tujuan yang terutama yaitu damai. Simataraja lebih mementingkan suasana damai daripada bertengkar meskipun kebenaran ada di pihaknya. Beliau juga bukan "pajolo gogo papudi uhum", suatu pelajaran bagi mereka yang karena memiliki kekuatan baik berbentuk kekayaan maupun kekuasaan lalu berprinsip "guru dok ku” bahkan melupakan pepatah moyang yang berkata: “somba marhula-hula, elek mar boru manat mardongan sabutuha". Beliau tidak melawan abangnya, seperti tertulis dalam I Petrus 3, 8- 9; Hendaklah kamu seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil yaitu untuk memperoleh berkat. Ompu Simataraja tidak pernah mendengar ayat ini, tetapi beliau sudah melaksanakannya, Ompu Simataraja belum mengenal Kristus, tetapi ajaran Kristus tentang kasih justru dilaksanakannya dengan sejati. Kasihnya kepada adiknya Deak Raja ditunjukkannya dengan membagi warisan bagiannya dan tanpa pamrih. Kita dapat berkata memiliki kasih, memiliki holong tetapi benarkah tanpa pamrih? Banyak perbuatan kasih, banyak perbuatan holong tetapi sebenarnya holong mamparbuat. Banyak yang mau memberi, banyak yang mau menyumbang tetapi benarkah tanpa mengharapkan imbalan? Sebagian dapat berkata ya, sebagian lagi akan beragam jawabnya. Kasih Ompu Simataraja adalah kasih sejati, holong situtu bukan holong mamparbuat. 3.2.2 Simataraja dengan Tamba Bersaudara Tersebutlah kisah bahwa di Negeri Tamba tempat berdiam keturunan Tamba ada warisan peninggalan kakek Simataraja yaitu Saragi Tua dan peninggalan ayahnya yaitu Ompu Tuan Binur. Mereka berempat, Lango Raja, Saing Raja dan Simataraja beserta Deak Raja berunding untuk meminta penjelasan tentang warisan yang menjadi hak mereka itu. Dicapai kata sepakat yang akan menjadi utusaan ke Negeri Tamba adalah Ompu Simataraja. Pada hari baik bulan baik berangkatlah Simataraja ke Negeri Tamba dengan misi "patotahon" bagian peninggalan ayah dan kakeknya. Kedatangan Simataraja disambut oleh dongan sabutuhanya dari keturunan Raja Nai Ambaton yaitu Tamba bersaudara yang terdiri dari: Si Tonggor Dolok, Si Tonggor Tonga-tonga dan Si Tonggor Toruan. Melalui acara marsisean Tamba bersaudara bertanya tentang maksud dan tujuan kedatangan Simataraja yang dijawab bahwa kedatangan Simataraja adalah untuk bertanya tentang warisan peninggalan kakek dan ayahnya yang ada ditanah Tamba. Atas pertanyaan tersebut Tamba bersaudara mengakui adanya peninggalan Ompu Tuan Binur dan Saragi Tua di tanah Tamba. Beberapa hari kemudian Tamba bersaudara mengajak Simataraja ke Golat yang ada di tanah Tamba lalu berikrar untuk patotahon Golat keturunan Saragi Tua dan Tamba Tua dengan pembagian sebagai berikut: * Bagian keturunan Tamba Tua adalah Golat ni Sitonggor Dolok, Si Tonggor Tong-tonga dan si Tonggor Toruan. * Bagian Simataraja adalah Golat Saragi Tua sebagai warisan di Negeri Tamba. Setelah ikrar ini dipastikan, rasa puas menghinggapi masing-masing pihak mengadakan pesta gembira, dengan mengundang semua unsur Dalihan Natolu, tidak ketinggalan dongan tubu, keturunan Raja Naiambaton Nabolon. Pada pesta tersebut mereka mengalahat horbo sitingko tanduk, sijambe ihur, siopat pusoran namalo marege di tonga alaman, melambangkan kegembiraan hati dan kerbau yang mempunyai empat kaki melambangkan kesatuan mereka yaitu; Raja Naimbaton Nabolon. Pada pesta tersebut mereka mengalahat horbo sitingko tanduk, si jambe ihur, si opat pusoran, namalo marege di tonga alaman, melambangkan kegembiraan hati dan kaki kerbau lambang kesatuan dari ke empat mereka yang mardongan sabutuha yaitu: Simataraja Si Tonggor Dolok Si Tonggor Tonga-tonga Si Tonggor Toruan Dari kisah tersebut kita dapat mengetahui Ompu Simataraja adalah orang yang mempunyai kemampuan lebih dibanding saudara-saudaranya terbukti beliaulah yang terpilih menjadi utusan, suatu yang kurang lazim dalam masyarakat Batak mengingat hukum Batak yang patrilineal dimana yang tertualah biasanya yang mewakili kepentingan keluarga. Apakah kemampuan Simataraja yang lebih itu? Dikisahkan begitu mereka yaitu Simataraja dan Tamba bersaudara mendapat kata sepakat dan tanah warisan sudah di patota, segera diadakan pesta bolon sebab dua belah pihak sudah merasa lega, dan pantas berpesta. Masalah warisan sudah sejak dahulu menjadi masalah pelik bahkan sampai sekarang, ditambah dengan sifat Batak yang biasanya keras dan tidak suka mengalah maka setiap kali bicara warisan persoalan menjadi sensitif. Tidak jarang karena masalah warisan sesama saudara kandung dapat bertengkar hebat, saling berebut, saling merasa paling berhak bahkan sampai mengakibatkan pertumpahan darah atau perseteruan sampai ke anak cucu, tidak berkesudahan. Meskipun masa kini orang sudah mengenal Akte, surat menyurat, tetap saja masalah warisan menjadi persoalan. Maka kalau Ompu Simataraja dapat memperoleh apa yang menjadi misinya tanpa mendatangkan rasa sakit hati malah justru merasa puas, itu adalah salah satu kemampuan beliau dalam "marhata". Suatu bahasa diplomasi ala Batak yang penuh dengan bahasa halus, umpasa-umpasa, tamsil, yang tidak semua orang memilikinya, dan orang seperti ini digelari raja Parhata. Kemampuan marhata dengan prinsip bukan marsiahut di ibana tetapi seperti ajaran moyang yang berbunyi: Balintang ma pagabe Tumondolhon sitadoan Arinta ma gabe Molo hita masipaolo-olo an yaitu prinsip musyawarah untuk mufakat. Atau seperti filsafat Jawa yang berbunyi: Kalah tanpa bolo, menang tanpa ngasorake Kalah tetapi tidak rugi, menang tetapi tidak menghina. Dengan kata lain Ompu Simataraja memiliki kemampuan berkomunikasi yang prima, artinya mampu memilih kata yang tepat pada waktu yang tepat, dan mengendalikan emosi, mau mendengar pendapat orang lain, mampu melihat tidak hanya yang tersurat melainkan juga yang tersirat mempunyai wawasan pemikiran yang luas dan yang terutama mempunyai ketulusan hati. Kemampuan berkomunikasi, salah satu kemampuan Ompu Simataraja yang patut kita teladani, acapkali kita disalah mengerti, banyak persoalan yang tidak terselesaikan, hal-hal seperti ini adalah akibat kurang harmonisnya komunikasi. Perjalanan punguan kita pun, sejarah mencatat adanya riak-riak kecil karena kurangnya komunikasi. Marilah kita belajar dari kearifan Ompu Simataraja dalam berkomunikasi.

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Sudah Pukul berapakah ini?

Popular Posts

Random Posts

Flickr Photo